BAB II
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Bandara Kemayoran
Bandar Udara Internasional Kemayoran
merupakan bandar udara pertama di Indonesia
yang dibuka untuk penerbangan internasional. Bandar Udara Internasional Kemayoran terletak di Kemayoran, Jakarta
Pusat. Bandar Udara Internasional Kemayoran diresmikan untuk penerbangan
domestic dan internasional pada tanggal 8 Juli 1940.
Dulunya banyak
masakapai nasional dan internasional yang beropersai di bandara Kemayoran
seperti maskapai penerbangan asal hindia belanda KNILM
(Koningkelije Nederlands Indische Luchtvaart Maatschapij) dan beberapa maskapai
penerbangan nasional seperti Garuda Indonesia Airways, Bouraq Airlines, Mandala
Airlines, Nusantara Airlines, Merpati Airlines dan lain sebabaginya.
Pada tanggal 31 Agustus
1940 yang bertepatan dengan hari jadi Ratu Wilhelmina, KNILM menyelenggarakan
Airshow di Bandar Udara Internasional Kemayoran yang menampilkan sejumlah
pesawat - pesawat kecil juga digelar di airshow ini, di antaramya
Buckmeister Bu-131 Jungmann, de Havilland DH-82 Tigermooth, Piper
Cub dan Walraven W-2
Selain bangunan terminal Bandar Udara Internasional Kemayoran terdapat juga menara Air Trafic Control (ATC) yang merupakan menara ATC pertama di Asia. Menara ATC Bandar Udara Internasional Kemayoran dibangun sejak 1938 saat masih zaman pemerintahan Belanda, Menara ATC ini juga dikenal dengan sebutan menara Tintin karena menara ini mempunyai kisah tersendiri tampil di komik petualangan tintin yang dikenal dengan rambut jambulnya yang khas dan unik, komik tersebut diberi judul “Flight 714 to Sydney”.
Selain digunakan untuk penerbangan komersil, Bandar Udara Internasional
juga digunakan untuk penerbangan militer saat terjadi perang di Asia Pasifik. Setelah diresmikannya Bandar
Udara Internasional Soekarno-Hatta,
Bandar Udara Internasional Kemayoran perlahan mulai ditutup dan hingga akhirnya
resmi berhenti beroperasi pada tanggal 31 Maret
1985
tepatnya pukul 00:00 WIB.
Bangunan terminal dan menara ATC Bandar Udara Internasional
Kemayoran sudah ditetapkan menjadi kawasan Cagar Budaya berdasarkan Keputusan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 495 tahun 1993.
2.2. Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya
Bangunan Cagar Budaya adalah sebuah kelompok bangunan
bersejarah dan lingkungannya, yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan,
dan nilai sosial budaya masa kini maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21).
Pada dasarnya dasar pelakasanaan konservasi bangunan arsitektur cagar budaya
mengacu pada rambu - rambu kebijakan secara nasional dalam bentuk peraturan
perundang - undangan cagar budaya dan peraturan terkait lainnya, maupun
peraturan - peraturan yang dikeluarkan yang diberlakukan secara regional,
misalnya Pemda DKI Jakarta.
Dalam mempertahankan bangunan cagar budaya terdapat
rambu - rambu dan kebijakan dalam pelaksanaannya, yang diatur secara peraturan
perundang - undangan. Salah satunya adalah Undang-undang No.11 tahun 2010
tentang cagar budaya;
Pasal
83 yang
menyatakan :
1. Bangunan
Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi
kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
· Ciri
asli dan muka bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya.
· Ciri
asli lanskap budaya dan permukaan tanah situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar
Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
2.
Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
· Mempertahankan
nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya;
· Menambah
fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
· Mengubah
susunan ruang secara terbatas; dan
· Mempertahankan
gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di
sekitarnya.
2.3. Tindakan Pelestarian
Terdapat beberapa langkah – langkah dalam
melestarikan Bangunan Cagar Budaya yaitu :
- Pelestarian
Dalam Undang - Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengertian Pelestarian
adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya
dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.
Dalam Undang - Undang tersebut di
atas, lembaga yang diberi fungsi untuk melindungi, mengembangkan,
memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan atau struktur yang telah ditetapkan
sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya
kepada masyarakat adalah museum.
Jika kita menyoal pelestarian
warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan sisi bendawi dan
bukan bendawi dari sebuah warisan. Dalam prakteknya, pendekatan secara
holistik pelestarian bendawi dan bukan bendawi menimbulkan kerumitan
tersendiri karena kedua unsur tersebut memiliki karakter yang berbeda. Sebuah
warisan bendawi, sebut saja sebuah bangunan bersejarah, lebih mudah untuk
dikatalogisasi, lalu menerapkan tindakan - tindakan pelindungan yang bersifat
konservasi dan restorasi pada fisik bangunannya. Warisan bukan bendawi, di lain
pihak membutuhkan pendekatan yang lebih dalam karena melibatkan pelaku
(manusia), kondisi sosial dan lingkungan yang sangat cepat berubah bila
dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
Keterlibatan masyarakat atau
komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi dalam segi pelindungan sangat
dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan dini yang luput dari perhatian
bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat sekitar. Vandalisme,
penjarahan, perusakan Cagar Budaya merupakan contoh yang nyata.
Kesulitan dalam segi pelindungan
bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep sejarah di dalamnya.
Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti pada BPSNT Bali, dalam
memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu masa lampau
dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya terdapat dalam ingatan
orang - orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya. Kenyataan ini baru
bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali dengan adanya
komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran tentang peristiwa
masa lampau.
- Pengembangan
Pengembangan dalam Undang - Undang
Cagar Budaya adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar
Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi dan Adaptasi
secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
Masyarakat atau komunitas dalam
masyarakat dapat secara aktif bersama - sama dengan museum dapat terlibat dalam
tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian. Penelitian ilmiah dapat
dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan menelaah lebih lanjut tentang
warisan bendawi dimaksud. Revitalisasi memungkinkan masyarakat menikmati fungsi
asal sebuah Bangunan Cagar
Budaya sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai
kantor pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat di pertanggungjawabkan,
ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada
saat - saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap
menjunjung tinggi nilai - nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi,
misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Unsur - unsur publikasi Cagar Budaya
dapat dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas masyarakat melalui media
massa, baik cetak maupun elektronik. Publik dapat menampilkan kegiatan - kegiatan
promosi berupa pentas seni dan budaya.
- Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah pendayagunaan
Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar - besarnya kesejahteraan rakyat dengan
tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar Budaya 2010). Dalam konteks
pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak karena merupakan muara dari
pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya dilindungi dan dikembangkan ialah
agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat berupa sarana pembelajaran,
pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi dan lain sebagainya. Pemanfaatan
Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen pendidikan karena pemahaman tentang
pelestarian itu lebih efektif dilakukan dengan pendekatan pendidikan.
Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi,
pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran serta masyarakat dan komunitas
turut andil besar dalam melestarikan kawasan Cagar Budaya.
- Zonasi
Zoning adalah suatu upaya yang dapat
dilakukan untuk melindungi dan sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak
terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi disekitarnya, yang oleh Callcott
disebutkan bahwa zonasi merupakan suatu cara atau teknik yang kuat dan
fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott, 1989:38).
Pernyataan yang dikemukaan oleh
Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturan dan pengontrolan
pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur
secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya adalah
menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang
dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka zonasi cagar budaya
yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding
dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman
antara satu dengan yang lainya, yaitu masing - masing mengacu pada kepentingan
pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat dipertahankan kelestarianya.
Zoning sangat penting contohnya saja jika cagar budaya berada dalam kawasan
kota, maka ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang tidak
mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu, penentuan
strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat
mengakomodir berbagai kepentingan.
Zonasi terhadap situs cagar budaya
ini harus dilakukan dengan perspektif yang luas untuk dapat menetapkan
suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan tetap berpegang pada
prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini menjadi
signifikan mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya meliputi sebuah
wilayah yang cukup luas. Dengan demikian penentuan batas zona harus
mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.
Link Download File : KLIK DISINI
Adhitya Nur Pratama
20314224
4TB06
Link Download File : KLIK DISINI
Adhitya Nur Pratama
20314224
4TB06
Comments
Post a Comment