Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Menurut UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Proporsi
ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh)
persen dari luas wilayah kota (Pasal 29 ayat 2). Ketentuan ini
dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, yang menetapkan 20 % alokasi RTH Publik
dan 10 % RTH Privat (Pasal 36 ayat 1 dan 2).
Berikut adalah proporsi RTH Publik pada kota-kota besar di Indonesia saat ini :
Pada tabel di atas, sangat terlihat jelas hanya Kota Bogor yang bisa
mendekati ketentuan minimal RTH Publik. Kota ini sebenarnya cukup
tertolong dengan adanya Kebun Raya Bogor yang berada di tengah kota.
Sementara di Ibukota Jakarta, RTH Publik yang ada baru mampu mencapai
angka 10 %, padahal menurut data yang ada pada awal tahun 1970-an RTH
Jakarta masih mencapai 35 %. Terjadi
penurunan yang sangat signifikan terhadap luasan RTH Publik yang ada di
Jakarta, walaupun Pemda setempat terus mengupayakan peningkatan RTH
Publik dari tahun ke tahun.
Menurunnya kualitas dan kuantitas RTH akan mengakibatkan menurunnya
kualitas lingkungan seperti terjadinya banjir karena kurangnya peresapan
air, tingginya polusi udara maupun meningkatnya kerawanan sosial. Dalam
upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan sudah
sewajarnya kita memberikan perhatian yang cukup terhadap keberadaan
ruang terbuka hijau, sehingga ketentuan RTH minimal 30 % sesuai amanat
regulasi yang ada bisa dicapai.
PENGERTIAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi:
Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi:
- kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis;
- kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi;
- area pengembangan keanekaragaman hayati;
- area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan;
- tempat rekreasi dan olahraga masyarakat;
- tempat pemakaman umum;
- pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan;
- pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis;
- penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria pemanfaatannya;
- area mitigasi/evakuasi bencana; dan
- ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut
Fungsi Intrinsik yaitu fungsi ekologis:
- memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota);
- pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar;
- produsen oksigen;
- penyerap air hujan;
- penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta;
- penahan angin.
Fungsi Ekstrinsik yaitu:
- Fungsi sosial dan budaya:
- menggambarkan ekspresi budaya lokal;
- merupakan media komunikasi warga kota;
- tempat rekreasi; wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
- Fungsi ekonomi:
- sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur;
- bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain.
- Fungsi estetika:
- meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan;
- menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;
- pembentuk faktor keindahan arsitektural;
- menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.
Dalam
suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan
sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti
perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.
- Manfaat langsung yaitu membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah);
- Manfaat tidak langsung yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).
KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)
Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau
berdasarkan pada kepentingan pengelolaannya adalah sebagai berikut :
1. Kawasan Hijau Pertamanan Kota,
berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara teratur dan artistik,
ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki
fungsi relaksasi.
2. Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu
ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan raya.
3. Kawasan Hijau Rekreasi Kota,
sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang terbuka hijau.
4. Kawasan Hijau kegiatan Olahraga,
tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan, lahan datar atau
pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu lapangan
olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf.
5. Kawasan Hijau Pemakaman.
6. Kawasan Hijau Pertanian,
tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah dan tegalan
yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias
dan buah-buahan.
7. Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri
dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan jalan, taman pulau
jalan dan sejenisnya.
8. Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu
halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran, perdagangan dan kawasan
industri.
Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun
1988, yaitu: taman kota, lapangan O.R, kawasan hutan kota, jalur hijau kota,
perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif.
Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi
perkotaan saat ini adalah kawasan hijau taman kota dan kawasan hijau lapangan
olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki hampir semua fungsi RTH,
sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi sebagai sarana untuk
menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari
fungsi RTH lainnya.
RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA BANDUNG
Saat ini Kota Bandung baru memiliki sekitar 1700 hektare RTH.
Sedangkan idealnya RTH untuk kota yang memiliki luas 16.729,65 hektare
ini adalah sekitar 6000 hektare. data Badan Pengendalian Lingkungan
Hidup 2007, ruang terbuka hijau di Kota Bandung kini tersisa 8,76
persen. Padahal idealnya sebuah kota harus memiliki ruang terbuka hijau
seluas 30 persen dari total luas kota, sesuai dengan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ruang tebuka hijau di Metropolitan Bandung terdiri dari kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Pada kenyataannya ruang terbuka hijau pada
kawasan lindung beralih fungsi menjadi kawasan terbangun, sehingga
ruang terbuka hijau yang selama ini berfungsi sebagai resapan air, tidak
lagi dapat menampung limpasan air hujan yang turun ke bumi. Hal ini
mengakibatkan terjadinya banjir di beberapa titik.
Jika Kota Bandung tanpa RTH, sinar matahari yang menyinari itu 90%
akan menempel di aspal, genting rumah, dan bangunan lainnya yang ada.
sementara sisanya yang 10% akan kembali ke angkasa. Hal itu memicu udara
Kota Bandung menjadi panas. Namun, jika bandung memiliki RTH sesuai
dengan angka ideal, maka sinar matahari itu 80% diserap oleh pepohonan
untuk fotosintesis, 10% kembali ke angkasa, dan 10% nya lagi yang
menempel di bangunan, aspal dan lainnya.
Menurut data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Bandung 2006, akibat
berkurangnya persentase ruang terbuka hijau di Bandung, setiap tahun
permukaan tanah di Kota Kembang ini menyusut sekitar 42 sentimeter. Di
Babakan Siliwangi sendiri permukaan air tanah berada pada kedudukan
14,35 meter dari sebelumnya 22,99 meter. Menurut data yang dilansir
Greenlife Society setidaknya 90 pusat perbelanjaan di Bandung itu masih
berhutang 85 ribu meter persegi ruang hijau.
Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik
bertenaga batubara akan menghasilkan emisi karbon-dioksida 5,6 juta ton/
tahun. Ilustrasi lain, sebuah kendaraan bermotor yang memerlukan bahan
bakar 1 liter per 13 km dan tiap hari mememerlukan BBM 10 liter maka
akan menghasilkan emisi karbon-dioksida sebanyak 30 kg/hari atau 9
ton/tahun. Bisa dibayangkan jika jumlah kendaraan bermotor di Kota
Bandung di jalanan yang sering macet kita asumsikan 500.000 kendaraan,
maka dari sektor transportasi Kota Bandung menyumbang emisi
karbon-dioksida ke atmosfer sebanyak 4,5 juta ton/ tahun.
Singkatnya, kondisi hutan Kota Bandung benar-benar kritis, jauh dari
angka ideal yang dibutuhkan warga kota yang telah mencapai lebih dari
2,3 juta jiwa. Istilah lainnya, wilayah RTH di Kota Bandung ini masih
sedikit. Dan saat ini jumlah pohon perlindung sebanyak 229.649 pohon.
Padahal, idealnya kata Kepala Dinas Pertamanan Kota Bandung, Drs.
Ernawan, jumlahnya 920.000 pohon pelindung atau 40% dari jumlah
penduduk. Jumlah tersebut dihitung dengan rumusan 2,3 juta jiwa dikali
0,5 kg oksigen dikali 1 pohon dibagi 1,2 kg, sama dengan 2,3 juta kali
0,4 kg oksigen dikali 1 pohon, menghasilkan 920.000 pohon.
Sumber :
Adhitya Nur Pratama
20314224
3TB06
Comments
Post a Comment